Kamis, 19 Juni 2025

 

RESENSI FILM MOVIE: UP

Oleh: T. Fadillah Husen


 Genre: Animasi, Petualangan, Drama, Komedi

·       Judul : Up

·       Sutradara: Pete Docter

·       Produksi: Toru Hara

·       Produksi: Pixar Animation Studios, Walt Disney Pictures

·       Durasi: 96 Menit

 

 

 

 

 


"Up" bercerita tentang Carl Fredricksen, seorang kakek tua yang hidup dalam kesunyian setelah ditinggal istrinya tercinta, Ellie. Sejak kecil, mereka berbagi mimpi besar untuk menjelajahi tempat eksotis bernama Paradise Falls. Demi menepati janji pada Ellie, Carl melakukan hal yang luar biasa — ia menerbangkan rumah mereka dengan ribuan balon warna-warni, berharap bisa menggapai mimpi yang dulu mereka rajut bersama.

Namun, Carl tak menyangka ada ‘penumpang gelap’ di perjalanan itu: Russell, seorang anak Pramuka yang polos, cerewet, tapi punya hati besar. Petualangan mereka pun dimulai — penuh kejutan, tawa, dan haru. Mereka bertemu seekor burung langka yang lucu bernama Kevin, anjing setia yang bisa bicara bernama Dug, hingga menghadapi sang pahlawan masa kecil Carl, Charles Muntz, yang ternyata menyimpan ambisi berbahaya. Di balik perjalanan ini, Carl menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tempat — ia menemukan kembali makna hidup, persahabatan, dan keberanian untuk melangkah maju.

1.   1.   Tema

Film ini mengangkat tema yang sangat dekat dengan kehidupan: tentang cinta sejati, kehilangan orang tercinta, janji yang ingin ditepati, petualangan yang belum sempat diwujudkan, dan persahabatan yang tumbuh di tempat tak terduga. Meski terlihat seperti film anak-anak, Up sebenarnya menyimpan lapisan emosi yang dalam—yang bisa menyentuh hati siapa pun, dari anak-anak hingga orang dewasa.

 

2.   2.   Tokoh dan Pemeran Suara

·       Carl Fredricksen (Edward Asner): Pribadi keras kepala namun setia pada cinta sejatinya.

·       Russell (Jordan Nagai): Anak yang polos, penuh semangat, dan kesepian.

·       Dug (Bob Peterson): Anjing lucu dengan kalung penerjemah.

·       Charles Muntz (Christopher Plummer): Penjelajah legendaris yang berubah menjadi antagonis.

3.  Visual dan Animasi

Animasi khas Pixar tampil begitu memukau di film ini. Dari rumah yang melayang tinggi dengan ribuan balon, hutan tropis yang penuh warna dan misteri, hingga ekspresi wajah karakter yang begitu nyata — semuanya dibuat dengan sangat detail dan penuh perasaan. Warna-warna cerah yang digunakan pun mampu memperkuat nuansa petualangan, rasa kagum, dan keajaiban di setiap adegannya.

4. Musik

Skor musik garapan Michael Giacchino benar-benar menyentuh hati. Salah satu yang paling membekas adalah lagu tema “Married Life” yang mengiringi montage awal kisah cinta Carl dan Ellie — adegan tanpa dialog, tapi penuh makna, berkat iringan musik yang lembut dan emosional. Musik dalam film ini bukan sekadar latar, tapi menjadi jiwa yang menghidupkan cerita dan menguatkan ikatan emosional penonton dengan para karakternya. 

Kelebihan Film

  • Cerita orisinal yang penuh makna.
  • Karakter kuat dan mudah dicintai.
  • Perpaduan humor dan drama yang seimbang.
  • Animasi berkualitas tinggi.
  • Soundtrack yang menggugah emosi.

 

Kekurangan Film

  • Beberapa momen mungkin terlalu emosional atau berat untuk anak-anak kecil.
  • Paruh kedua film terasa sedikit lebih "konvensional" dibanding pembukaannya yang luar biasa

Kesimpulan

Up bukan hanya kisah petualangan mengudara dengan rumah dan balon, tetapi juga perjalanan batin tentang kehilangan, harapan, dan keberanian untuk melangkah maju. Film ini mengingatkan kita bahwa mimpi tak pernah terlalu tua untuk dikejar, bahwa kenangan bukanlah beban, melainkan bagian dari perjalanan hidup. Di balik visual yang memukau dan cerita yang menghibur, Up meninggalkan pesan hangat tentang cinta, persahabatan, dan makna sebenarnya dari sebuah petualangan.

 

 

 

RESENSI SINGKAT FILM: GRAVE OF THE FIREFILES DARI AGUNG PERDANA

 

RESENSI FILM ANIME MOVIE: GRAVE OF THE FIREFILES

Oleh: Teuku Muhammad Agung Perdana

 


·       Judul Jepang: 火垂るの墓 (Hotaru no Haka)

·       Sutradara: Isao Takahata

·       Produser: Toru Hara

·       Penulis Naskah: Isao Takahata (berdasarkan novel Akiyuki Nosaka)

·       Seiyuu (Pengisi Suara):

Seita: Tsutomu Tatsumi

Setsuko: Ayano Shiraishi

Ibu: Akemi Yamaguchi

Bibi: Yoshiko Shinohara

·       Studio: Studio Ghibli

·       Durasi: 90 menit

·       Distributor:Toho (Jepang)


Bagi Anda yang mencari film anime dengan kedalaman emosi yang luar biasa dan pesan yang membekas, Grave Of The Firefiles adalah sebuah pilihan yang sangat tepat. Karya dari Studio Ghibli, di bawah arahan sutradara Isao Takahata, ini berbeda signifikan dari sebagian besar produksi Ghibli yang identik dengan fantasi dan keajaiban. Film ini menyajikan narasi yang pilu dan realistis mengenai dampak perang terhadap anak-anak, diadaptasi dari pengalaman personal penulis aslinya, Akiyuki Nosaka. Persiapkan diri Anda, karena film ini akan menguras emosi dan meninggalkan refleksi mendalam.

 

Ringkasan Alur Cerita

Film ini berpusat pada perjuangan dua bersaudara, Seita, seorang remaja, dan Setsuko, adik perempuannya yang masih belia. Latar belakang cerita ini adalah masa-masa kelam Perang Dunia II di Jepang. Setelah tempat tinggal mereka hancur akibat bombardir dan ibu mereka meninggal dunia, Seita dan Setsuko harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup. Sempat menumpang di kediaman kerabat, kondisi yang kian memburuk dan perlakuan yang kurang menyenangkan mendorong mereka untuk memutuskan hidup mandiri di sebuah bunker kosong. Di tengah kelaparan, wabah penyakit, dan kehancuran di mana-mana, mereka hanya memiliki satu sama lain sebagai tumpuan. Film ini secara gamblang memperlihatkan betapa mengerikannya perjuangan anak-anak tak bersalah di tengah kekejaman perang.

 

Keunggulan Film

  • Penceritaan yang Jujur dan Realistis: Ini adalah kekuatan utama dari film ini. Grave Of The Firefiles tidak berusaha memperindah atau menyamarkan kekejaman perang. Kita tidak akan menemukan adegan heroik atau kemenangan yang agung. Yang disajikan adalah gambaran yang lugas dan menyakitkan mengenai penderitaan, kelaparan, penyakit, dan keputusasaan yang dialami Seita dan Setsuko. Film ini berani menunjukkan realita tanpa filter, membuat penonton merasakan langsung kengerian hidup di masa perang, terutama bagi mereka yang paling rentan.
  • Animasi yang Menghanyutkan dan Kaya Detail Emosi: Meskipun gaya animasinya mungkin tidak semeriah karya Ghibli lainnya, kualitas visualnya tetap luar biasa. Studio Ghibli berhasil menangkap setiap detail kehancuran kota, kelelahan pada wajah Seita, dan kepolosan Setsuko. Penggunaan pencahayaan dan warna juga sangat cerdas; adegan kunang-kunang yang bertebaran di malam hari, yang seharusnya indah, justru terasa sangat melankolis dan menyayat hati, melambangkan harapan yang sirna dengan cepat.
  • Pengembangan Karakter yang Kuat dan Menguras Emosi: Seita digambarkan sebagai seorang kakak yang berjuang mati-matian untuk melindungi dan menghibur adiknya, meskipun ia sendiri masih sangat muda dan diliputi ketakutan. Setsuko, dengan kepolosannya sebagai anak kecil yang seringkali tidak sepenuhnya memahami situasi mereka, justru menjadikan setiap adegan bersamanya terasa lebih tragis dan menyentuh. Ikatan persaudaraan mereka adalah inti dari film ini dan digambarkan dengan sangat autentik. Penonton akan dengan mudah bersimpati dan merasakan kepedihan mereka.
  • Tata Musik yang Mendalam: Skor musik dalam film ini sangat efektif dalam membangun suasana dan memperkuat emosi. Nada-nada yang sendu dan melankolis senantiasa hadir pada momen yang tepat, menambah bobot kesedihan dan keputusasaan yang menyelimuti narasi. Musiknya turut mengisahkan kesedihan yang tak terucapkan.
  • Pesan Antiperang yang Abadi: Film ini merupakan sebuah peringatan tegas tentang kebobrokan dan kehancuran yang ditimbulkan oleh perang. Ia dengan jelas menyampaikan bahwa tidak ada pemenang sejati dalam perang; yang ada hanyalah kerugian dan penderitaan yang tak terhingga, terutama bagi mereka yang paling tidak bersalah. Film ini mengajak kita untuk merenungkan urgensi perdamaian dan betapa berharganya setiap nyawa.

 

Kekurangan Film

  • Beban Emosional yang Tinggi (Depresif): Ini bukanlah film yang sesuai jika Anda mencari hiburan ringan atau ingin merasakan kegembiraan. Makam Kunang-kunang adalah film yang sangat sedih, gelap, dan brutal secara emosional. Banyak penonton merasakan tekanan dan bahkan trauma setelah menyaksikannya. Oleh karena itu, persiapkan mental dan emosi yang kuat sebelum menonton.
  • Alur Cerita yang Linear dan Terfokus pada Penderitaan: Film ini lebih merupakan potret kehidupan dan perjuangan dua anak, bukan sebuah petualangan dengan plot yang kompleks. Sebagian penonton mungkin merasa alurnya agak lambat atau repetitif karena fokusnya hampir sepenuhnya pada penderitaan dan upaya bertahan hidup karakter. Tidak ada plot twist besar atau momen kebahagiaan yang signifikan.
  • Minimnya Harapan (Persepsi): Bagi beberapa individu, film ini mungkin terasa terlalu pesimis. Meskipun ini adalah gambaran realistis tentang perang, tidak banyak ruang untuk harapan atau optimisme dalam kisah Seita dan Setsuko. Hal ini dapat menyebabkan sebagian penonton merasa putus asa.

 

Kesimpulan

Makam Kunang-kunang adalah sebuah mahakarya sinematik yang kuat dan tak terlupakan. Meskipun sangat berat dan menghancurkan hati, film ini merupakan tontonan yang esensial. Ia mengingatkan kita akan kengerian perang dan pentingnya menghargai setiap momen perdamaian serta nilai kemanusiaan. Ini bukan sekadar film anime biasa, melainkan sebuah pelajaran sejarah dan kemanusiaan yang disampaikan dengan cara yang sangat personal dan menyentuh emosi. Jika Anda siap menghadapi realita yang pahit dan ingin merasakan kekuatan penceritaan yang luar biasa, film ini sangat direkomendasikan untuk Anda.

 

 

Kamis, 12 Juni 2025

JOGAK SIPEMENGGAL KEPALA

JOGAK SI PEMENGGAL KEPALA

(Berdasarkan kisah nyata keluarga kami, nama-nama tokoh dalam cerita telah di samarkan)

Tahun 2020, di kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, tinggal seorang lelaki tua yang dalam cerita ini di sebut sebagai “muslim.” Wilayah ini dikenal karena memiliki sekitar 99 pulau yang tersebar di lautan. Muslim  hidup sederhana sebagai Nelayan dan Petani. Ketika ombak sedang tinggi dan berbahaya, ia tidak melaut. Sebagai gantinya, ia berkebun di Pulau Sangalat, salah satu pulau kecil yang tak berpenghuni dan hanya bisa dijangkau dengan perahu.

Cerita ini disampaikan langsung oleh Muslim, suatu sore, dalam suasana tenang yang berubah menjadi haru ketika ia mengenang malam yang hampir merenggut nyawanya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan narasumber desa Pulau Balai. Analisis dilakukan secara menafsirkan data non-numerik, seperti teks, wawancara, observasi, atau data deskriptif.

 

Foto desa Pulau Balai. Sumber : https://traverse.id/nature/pulau-balai-gerbang-keindahan-kepulauan-banyak/@himsaifanah

 

Malam itu, setelah seharian bekerja mencangkul dan membersihkan kebun, Muslim tidur di pondok kecil miliknya di tengah Pulau Sanggalat. Pondok itu sangat sederhana, berdinding kayu tua, dan hanya diterangi oleh pelita minyak tanah. Ia tidur menyamping ke kanan, hanya mengenakan celana pendek dan sehelai kain tipis sebagai selimut.

Sekitar pukul dua dini hari, seseorang perlahan membuka pintu pondok. Langkah kakinya nyaris tak terdengar di malam dengan penuh keheningan. Tangannya menggenggam sebelah parang besar. Orang itu bernama, “Bayu Linge” atau yang dikenal di dunia kelam sebagai Jogak, si pemenggal kepala. Ia adalah seorang narapidana yang dilepas sementara untuk melakukan misi rahasia yaitu membunuh orang-orang tertentu dan mengambil organ tubuh mereka untuk dijual di pasar gelap. Setelah masa tugas itu selesai, hukuman mereka akan diringankan, bahkan ada yang dibebaskan dari sel penjara. Bayu juga salah satu dari sembilan narapidana yang di lepas oleh  “Oknum” tertentu. Mereka semua diberi misi yang sama yaitu membunuh orang-orang tertentu dan mengambil organ tubuh mereka untuk dijual di pasar gelap. Setiap narapidana dikirim ke pulau yang berbeda. Bayu adalah salah satu yang dikirim di Pulau Sangalat, sementara yang lainnya menyebar ke pulau-pulau lain dengan target masing-masing. Mereka hanya dibebaskan sementara. Selama satu minggu untuk menjalankan tugas itu, dan setelah satu minggu mereka akan dijemput kembali.

Malam itu, targetnya adalah lelaki tua di pulau terpencil. Tanpa curiga, ia masuk ke pondok dan mendekati tubuh yang terbaring di bawah cahaya temaram pelita.

Dengan pandangan tajam, Bayu mengamati tubuh lelaki itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Ia mengulanginya sekali lagi, memastikan targetnya benar. Namun sesuatu dalam dirinya mulai bergelar. Wajah itu… tubuh itu… terasa tak asing, tiba-tiba ia tertegun, nafasnya memburu, dadanya sesak.

“Itu Muslim,” bisiknya dalam hati…

Bayu mundur beberapa langkah. Ia tidak menyangka orang yang harus dibunuh malam itu adalah Muslim, lelaki yang dulu pernah membantunya saat ia kelaparan dan tak punya arah hidup. Muslim lah yang memberinya makanan, tempat berteduh, dan memperlakukan dirinya seperti manusia.

Tak sanggup menghadapi kenyataan itu, Bayu segera meninggalkan pondok. Ia pergi tanpa suara, meninggalkan kegelapan dan pertarungan batin yang berkecamuk dalam dirinya. Keesokan paginya muslim terbangun seperti biasa, ia duduk, menghirup udara segar, dan tidak menyadari bahaya yang menjemputnya malam tadi. Tak lama kemudian, seorang lelaki datang mendekati pondok. Wajahnya murung dan langkahnya berat.

“Bayu?” ucap Muslim pelan, langsung mengenali tamunya.
“Iya, Pak Muslim… ini aku,” jawab Bayu menunduk.

Tanpa banyak kata, Bayu pun menceritakan segalanya, tentang misinya, tentang siapa dia sebenarnya, dan tentang perintah yang hampir ia jalankan semalam.

“Aku datang malam tadi untuk membunuhmu, Pak,” ucap Bayu dengan suara gemetar. “Tapi saat melihatmu, aku tak sanggup. Kau bukan sekadar orang tua biasa. Kau adalah orang yang pernah menyelamatkan hidupku…”

Bayu  kemudian memperingatkan Muslim agar segera meninggalkan kebun dan tidak kembali ke pulau itu untuk sementara waktu. “Aku tak tahu siapa yang akan datang berikutnya. Tapi mungkin mereka, tidak akan mengenalmu seperti aku mengenalmu…”

Pagi itu, Muslim kembali menyeberang ke Pulau Balai. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bermalam di kebun Pulau Sanggalat.

 

Catatan penulis :

Cerita ini berdasarkan kejadian nyata yang diceritakan langsung oleh Muslim, berusia 72 tahun, tinggal di Kecamatan Pulau Banyak, Desa Pulau Balai. Namun untuk menjaga privasi keluarga dan pihak-pihak yang terkait, nama-nama dalam cerita ini telah di samarkan.

  kisah ini sebagai bentuk dokumentasi dan pengingat bahwa satu kebaikan yang dilakukan dengan tulus, bisa menjadi penyelamat yang datang di waktu yang tak terduga."

Narasumber                     : Muslim

Umur                               : 72 Tahun                                

Lama tinggal di desa        : 47 Tahun

  RESENSI FILM MOVIE: UP Oleh: T. Fadillah Husen   Genre: Animasi, Petualangan, Drama, Komedi ·        Judul : Up ·  ...