JOGAK
SI PEMENGGAL KEPALA
(Berdasarkan kisah nyata
keluarga kami, nama-nama tokoh dalam cerita telah di samarkan)
Tahun 2020, di
kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, tinggal seorang lelaki tua yang
dalam cerita ini di sebut sebagai “muslim.” Wilayah ini dikenal karena memiliki
sekitar 99 pulau yang tersebar di lautan. Muslim hidup sederhana sebagai Nelayan dan Petani.
Ketika ombak sedang tinggi dan berbahaya, ia tidak melaut. Sebagai gantinya, ia
berkebun di Pulau Sangalat, salah satu pulau kecil yang tak berpenghuni dan
hanya bisa dijangkau dengan perahu.
Cerita ini disampaikan langsung oleh Muslim, suatu sore, dalam suasana tenang yang berubah menjadi haru ketika ia mengenang malam yang hampir merenggut nyawanya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan narasumber desa Pulau Balai.
Analisis dilakukan secara menafsirkan data non-numerik, seperti teks,
wawancara, observasi, atau data deskriptif.
Foto desa Pulau Balai. Sumber : https://traverse.id/nature/pulau-balai-gerbang-keindahan-kepulauan-banyak/@himsaifanah
Malam itu, setelah
seharian bekerja mencangkul dan membersihkan kebun, Muslim tidur di pondok
kecil miliknya di tengah Pulau Sanggalat. Pondok itu sangat sederhana,
berdinding kayu tua, dan hanya diterangi oleh pelita minyak tanah. Ia tidur menyamping
ke kanan, hanya mengenakan celana pendek dan sehelai kain tipis sebagai
selimut.
Sekitar pukul dua
dini hari, seseorang perlahan membuka pintu pondok. Langkah kakinya nyaris tak
terdengar di malam dengan penuh keheningan. Tangannya menggenggam sebelah
parang besar. Orang itu bernama, “Bayu Linge” atau yang dikenal di dunia kelam
sebagai Jogak, si pemenggal kepala. Ia adalah seorang narapidana yang dilepas
sementara untuk melakukan misi rahasia yaitu membunuh orang-orang tertentu dan
mengambil organ tubuh mereka untuk dijual di pasar gelap. Setelah masa tugas
itu selesai, hukuman mereka akan diringankan, bahkan ada yang dibebaskan dari
sel penjara. Bayu juga salah satu dari sembilan narapidana yang di lepas oleh “Oknum” tertentu. Mereka semua diberi misi
yang sama yaitu membunuh orang-orang tertentu dan mengambil organ tubuh
mereka untuk dijual di pasar gelap. Setiap narapidana dikirim ke pulau yang
berbeda. Bayu adalah salah satu yang dikirim di Pulau Sangalat, sementara yang
lainnya menyebar ke pulau-pulau lain dengan target masing-masing. Mereka hanya
dibebaskan sementara. Selama satu minggu untuk menjalankan tugas itu, dan
setelah satu minggu mereka akan dijemput kembali.
Malam itu, targetnya
adalah lelaki tua di pulau terpencil. Tanpa curiga, ia masuk ke pondok dan
mendekati tubuh yang terbaring di bawah cahaya temaram pelita.
Dengan pandangan
tajam, Bayu mengamati tubuh lelaki itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
Ia mengulanginya sekali lagi, memastikan targetnya benar. Namun sesuatu dalam
dirinya mulai bergelar. Wajah itu… tubuh itu… terasa tak asing, tiba-tiba ia
tertegun, nafasnya memburu, dadanya sesak.
“Itu Muslim,” bisiknya dalam
hati…
Bayu mundur beberapa
langkah. Ia tidak menyangka orang yang harus dibunuh malam itu adalah Muslim,
lelaki yang dulu pernah membantunya saat ia kelaparan dan tak punya arah hidup.
Muslim lah yang memberinya makanan, tempat berteduh, dan memperlakukan dirinya
seperti manusia.
Tak sanggup
menghadapi kenyataan itu, Bayu segera meninggalkan pondok. Ia pergi tanpa
suara, meninggalkan kegelapan dan pertarungan batin yang berkecamuk dalam
dirinya. Keesokan paginya muslim terbangun seperti biasa, ia duduk, menghirup
udara segar, dan tidak menyadari bahaya yang menjemputnya malam tadi. Tak lama
kemudian, seorang lelaki datang mendekati pondok. Wajahnya murung dan
langkahnya berat.
“Bayu?” ucap Muslim pelan, langsung
mengenali tamunya.
“Iya, Pak Muslim… ini aku,” jawab Bayu menunduk.
Tanpa banyak kata, Bayu
pun menceritakan segalanya, tentang misinya, tentang siapa dia sebenarnya, dan
tentang perintah yang hampir ia jalankan semalam.
“Aku datang malam tadi untuk
membunuhmu, Pak,” ucap Bayu dengan suara gemetar. “Tapi saat melihatmu, aku tak
sanggup. Kau bukan sekadar orang tua biasa. Kau adalah orang yang pernah
menyelamatkan hidupku…”
Bayu kemudian memperingatkan Muslim agar segera
meninggalkan kebun dan tidak kembali ke pulau itu untuk sementara waktu. “Aku
tak tahu siapa yang akan datang berikutnya. Tapi mungkin mereka, tidak akan
mengenalmu seperti aku mengenalmu…”
Pagi itu, Muslim
kembali menyeberang ke Pulau Balai. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi
bermalam di kebun Pulau Sanggalat.
Catatan penulis :
Cerita ini
berdasarkan kejadian nyata yang diceritakan langsung oleh Muslim, berusia 72
tahun, tinggal di Kecamatan Pulau Banyak, Desa Pulau Balai. Namun untuk menjaga
privasi keluarga dan pihak-pihak yang terkait, nama-nama dalam cerita ini telah
di samarkan.
kisah ini sebagai bentuk dokumentasi dan pengingat bahwa satu kebaikan yang dilakukan dengan tulus, bisa menjadi penyelamat yang datang di waktu yang tak terduga."
Narasumber :
Muslim
Umur : 72 Tahun
Lama tinggal di desa : 47 Tahun
Keren kwnku
BalasHapusterimakasih kawan
Hapus